RSS

Arsip Tag: beras

PENGARUH GLOBALISASI (REVOLUSI PEMASARAN) TERHADAP KOMODITI BERAS DI INDONESIA

PENDAHULUAN

1.1          Latar Belakang

Pada era globalisasi atau perdagangan bebas Indonesia diperkirakan akan menjadi salah satu target pemasaran beras impor yang menarik. Untuk mengetahui kemampuan bersaing beras kita dengan beras impor, maka perlu dilakukan pengkajian/survei terhadap sebaran mutu beras yang dihasilkan oleh penggilingan padi dan di pedagang beras di tingkat pasar.

Pertanian di Indonesia abad 21 harus dipandang sebagai suatu sektor ekonomi yang sejajar dengan sektor lainnya. Sektor ini tidak boleh lagi hanya berperan sebagai aktor pembantu apalagi figuran bagi pembangunan nasional seperti selama ini diperlakukan, tetapi harus menjadi pemeran utama yang sejajar dengan sektor industri. Karena itu sektor pertanian harus menjadi sektor moderen, efisien dan berdaya saing, dan tidak boleh dipandang hanya sebagai katup pengaman untuk menampung tenaga kerja tidak terdidik yang melimpah ataupun penyedia pangan yang murah agar sektor industri mampu bersaing dengan hanya mengandalkan upah rendah.

Sistem pemasaran beras memilikiketerkaitan yang cukup erat dengan tingkat pendapatan petani. Makalah ini mengkaji tentang pola pemasarangabah atau beras di Indonesia untuk melihat ssecara lebih mendalam fungsi dari masing-masing tingkatan perdagangan beras. Sistem pemasaran pangan tidak terlepas dari peranan pemerintah, nammun bagaimana peranan pemerintah dalam suatu pasar seharusnya masih menjadi polemik. Bentuk sasaran intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar tersebut bervariasi antara negaramaju dan negara berkembang.

1.2          Rumusan Masalah

Dalam upaya memecahkan berbagai masalah dalam makalah ini, perlu kiranya masalah diidentifikasi terlebih dahulu agar permasalahan menjadi jelas. Adapun yang menjadi rumusan dari masalah ini adalah seberapa pengaruhkah globalisasi atau revolusi pemasaran terhadap komoditas agribisnis di Indonesia?

1.3          Tujuan Masalah

Sesuai dengan masalah yang akan dibahas, maka tujuan dari penyusunan masalah ini adalah sebagai berikut.

1.3.1     Untuk memperoleh gambaran tentang dampak yang terjadi akibat globalisasi komoditas pertanian, khususnya beras.

1.3.2     Mengetahui tentang ciri atau karakter dari globalisasi agribisnis.

LANDASAN TEORI

2.1          Pengertian Agribisnis

Agribisnis merupakan istilah yang baru dikenal sejak awal dekade 1970-an di Indonesia.  Agribisnis adalah kegiatan ekonomi yang berhulu pada dunia pertanian yang mencakup semua kegiatan mulai dari pengadaan dan penyaluran sarana produksi sampai pada kegiatan tataniaga produk pertanian yang dihasilkan oleh usahatani (Downey dan Erickson, 1987 dalam Zakaria, 2002).

Tetapi menurut pendapat Pengertian Agribisnis Menurut Downey and Erickson (1987) dalam Saragih (1998) menyatakan bahwa agribisnis adalah kegiatan yang berhubungan dengan penanganan komoditi pertanian dalam arti luas, yang meliputi salah satu atau keseluruhan  dari mata rantai produksi, pengolahan masukan dan  keluaran produksi (agroindustri), pemasaran masukan-keluaran pertanian dan kelembagaan penunjang kegiatan. Yang dimaksud dengan berhubungan adalah kegiatan usaha yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan  usaha yang ditunjang  oleh kegiatan pertanian yang dimulai dari hulu hingga hilir dan didukung oleh sarana pendukung yang memadai.

Sistem Agibisnis

2.2          Globalisasi Agribisnis

Globalisasi agribisnis adalah perpaduan antara komersialisasi dan modernsasi teknologi membuat perolehan dan sarana produksi maupun produk pertanian semakin tergantung pada kondisi pasar luar. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan memasuki pasar global menurut Simatupang, Pack, Choi, dan Feeder adalah peningkatan volume pertanian, harga jual produk yang lebih tinggi, harga sarana produk yang lebih murah, ilmu pengetahuan dan teknologi, modal investasi, peningkatan efisiensi akibat realokasi sumber daya dan dorongan persaingan. Dari definisi ini paling tidak ada dua aspek penting yang harus kita catat. Pertama, keunggulan komparatif (menghasilkan barang yang lebih murah dari pesaing) tidak menjamin teraihnya keunggulan kompetitif. Disamping keunggulan kemparatif, keunggulan kompetitif sangat ditentukan oleh kemampuan untuk memasok produk dengan atribut (karakter) yang sesuai dengan keinginan konsumen. Hal ini berarti, bahwa agribisnis dan pembangunan pertanian yang berorientasi pada peningkatan produksi dan dengan harga yang serendah mungkin (cheap production oriented) sudah tidak sesuai dengan dinamika pasar mutakhir. Dalam era globalisasi usaha produksi komoditas pertanian (agribisnis) haruslah diorientasikan kepada konsumen (consumer oriented agribusiness).

Kedua, keunggulan kompetitif merupakan hasil interaksi dari tiga tingkatan pasar yaitu pasar internasional dari produk, pasar domestik dari produk, dan pasar sarana produksi. Dengan kata lain, keunggulan kompetitif suatu komoditas pertanian, merupakan hasil resultan dari rantai agribisnis secara vertikal mulai dari perolehansarana produksi, usaha tani, pemasaran domestik, dan pemasaran internasional. Oleh karena itu, koordinasi vertikal petani agribisnis antara-agribisnis hilir sangatlah diperlukan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif. Dari berbagai dinamika yang terdapa pada sistem agribisnis tersebut, penulis tertarik untuk membahas mengenai dampak atau pengarus dari globalisasi terhadap salah satu komoditas agribisnis.

 PEMBAHASAN

 

3.1          Globalisasi Agribisnis Indonesia

Pertanian di Indonesia abad 21 harus dipandang sebagai suatu sektor ekonomi yang sejajar dengan sektor lainnya. Sektor ini tidak boleh lagi hanya berperan sebagai aktor pembantu apalagi figuran bagi pembangunan nasional seperti selama ini diperlakukan, tetapi harus menjadi pemeran utama yang sejajar dengan sektor industri. Karena itu sektor pertanian harus menjadi sektor moderen, efisien dan berdaya saing, dan tidak boleh dipandang hanya sebagai katup pengaman untuk menampung tenaga kerja tidak terdidik yang melimpah ataupun penyedia pangan yang murah agar sektor industri mampu bersaing dengan hanya mengandalkan upah rendah.

Terpuruknya perekonomian nasional pada tahun 1997 yang dampaknya masih berkepanjangan hingga saat ini membuktikan rapuhnya fundamental ekonomi kita yang kurang bersandar kepada potensi sumberdaya domestik. Pengalaman pahit krisis moneter dan ekonomi tersebut memberikan bukti empiris bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling tangguh menghadapi terpaan yang pada gilirannya memaksa kesadaran publik untuk mengakui bahwa sektor pertanian merupakan pilihan yang tepat untuk dijadikan sektor andalan dan pilar pertahanan dan penggerak ekonomi nasional. Kekeliruan mendasar selama ini karena sektor pertanian hanya diperlakukan sebagai sektor pendukung yang mengemban peran konvensionalnya dengan berbagai misi titipan yang cenderung hanya untuk mengamankan kepentingan makro yaitu dalam kaitan dengan stabilitas ekonomi nasional melalui swasembada beras dalam konteks ketahanan pangan nasional.

3.2          Mata Rantai Pemasaran Beras

Salah satu isu aktual saat ini berdasarkan data Badan Pusat Statistik adalah Indonesia masih surplus beras secara nasional, namun ternyata harga beras di pasar masih tinggi dan cenderung mengalami kenaikan.

“Hal tersebut terjadi karena ada permasalahan pada  manajemen stok dan perimbangan margin share pada setiap level tataniaga perberasan nasional sebagai memicu terhadap kenaikan harga,” kata Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Prof Zaenal Bachruddin pada Temu Wicara dengan Pelaku Usaha Perberasan di Gunung Kidul, Yogyakarta.

Menurutnya, pemasaran hasil gabah/ beras di Indonesia umumnya melewati mata rantai yang cukup panjang, sehingga seringkali merugikan petani maupun konsumen. Petani menerima harga yang rendah, sedangkan konsumen harus membayar dengan harga yang tinggi. Selama pelaku yang terlibat dalam tata niaga gabah/beras tidak mendapat margin yang adil, maka sulit bagi Indonesia untuk mengembangkan industri beras yang baik.

Dalam rangka upaya mengembangkan industri beras nasional yang lebih berkeadilan, lanjut Zaenal Bachruddin perlu dirancang sistem manajemen stok beras yang mampu mengatur suplai dan deman yang tepat sehingga terbentuk tingkat harga yang layak baik di tingkat petani maupun konsumen, di samping itu diharapkan dapat menjamin ketersediaan beras sepanjang tahun dengan harga yang terkendali.

Berdasarkan hasil kajian stok beras yang telah dilaksanakan oleh Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (Ditjen P2HP) perilaku stok di tingkat petani berdasarkan proporsi terbesarnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga dan motif berjaga-jaga atau kepentingan sosial. Dengan semakin kecilnya hasil panen padi petani, maka proporsi gabah yang di stok akan lebih besar.

Kondisi itu mengakibatkan ketersediaan beras di pasar tidak sebesar hasil panennya. Jumlah stok di tingkat rumah tangga berkisar antara 14-19 persen dari hasil panennya. Kecenderungan untuk melakukan stok dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya terkait dengan penurunan produksi dan peningkatan harga beras. Harga beras yang terus-menerus mengalami gejolak akan menimbulkan motif stok yang lebih besar di musim berikutnya.

3.3          Peran Pemerintah Dan Perkembangan Pasar

Sistem pemasaran merupakan bagian yang penting dari mata rantai barang sejak diproduksi sampai ke tangan konsumen. Sistem pemasaran juga dapat menentukan efisiensi pasar suatu tataniaga barang termasuk pangan.

Peran pemerintah dalam pemasaran pangan berbeda antara satu negara dengan negara lain. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan kepentingan maupun tujuan dalam penanganan pasar pangan dalam negeti. Secara empiris ditemukan bahwa sistem pemasaranpangan di beberapa negara juga mengalami pergeseran termasuk peran pemerintah didalamnya. Bila dikaitkan dengan era perdagangan bebas dan pasar global serta pergeseran perekonomian ke arah industri, maka mengkaji pergeseran sistem pemasaran dalam pasar pangan sangat relevan sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi pasar dalam rangka menciptakan dan mempertahankan mekanisme pasarpangan yang sehat.

Di negara maju, peranan pemeritah yang dominan munculkarrena sesuai dengan kebutuhan untuk membangun kembali negara-negaraakibat PD II. Peran pemerintah juga diharapkan sebagai cara yang baik dalam perekonomian dengan melakukan koordinasi investasi dan tabungan agar tercapai kondisi full-employment, perluasan sistem kesejahteraan, sertatugas stabilisasi. Sementara itu untuk negara-negara berkembang, investasi pemerintah biasanya untuk melindungi industri yang baru lahir sebgai strategi substitusi impor antara lain dalam bentuk proteksi maupun subsidi. Peran pemerintah dalam mekanisme pasara juga diharapkan sebagai penjaga keseimbangan makro dan penyedia jasa dan barang publik serta sebagai koordinasi dalam mengupayakan sinergisme alokasi sumber daya ekonomi sehingga dapat membentuk transfer yang efektif untuk mengubah symber daya potensial menjadi sumber daya efektif (Indrawati, 1997).

3.4          Perubahan Preferensi Konsumen

Perubahan preferensi konsumen dari komoditas ke produk tidak hanya berlangsung di negara maju (luar negeri), tetapi juga  di dalam negeri. Benyak teori yang menyatakan bahwa perubahan tingkat pendapatan dan pendidikan telah mendorong perubahan preferensi konsumen terhadap produk pangan yang akan dibeli (Streeter et al., 1991; Barkema, 1993; Drabenstott, 1994 dalam Simatupang, 1995). Kalau dulu (tradisional), atribut utama yang mencirikan preferensi konsumen hanyalah : jenis, kenyamanan,, stabilitas harga dan nilai komoditas, maka dewasa ini konsumen telah pula menuntut tambahan atribut produk yang lebih rinci, seperti kualitas (komposisi bahan baku), kandungan gizi (lemak, kolesterol, kaloridan sebagainya), keselamatan (kandungan aditif, pestisida, dan sebagainya),aspek lingkungan (apakah produk tersebut dihasilkandengan usahatanidan proses pengolahan produk yang tidak mengganggu kalitas dankelstarian lingkungan hidup).

Dengan kata lain, sekarang pada umumnya konsumen tidak lagi membeli komoditas, melainkan membeli produk. Sebagai contoh, dewasa ini konsuen pada umumnya tidak lagi sekedar membeli beras (komoditas), mlainkan beras yang mengandung nutrisi tertentu, kandungan glukosa yang rendah, dan proses produksinya tidak menggunakan bahan kimia (beras organik).

3.5          Revolusi Pemasaran Komoditas Beras di Indonesia

Kinerja pemasaran memegang paeranan sentral dalam mengembangkan komoditas pertanian. Perumusan strategi dan program pengembangan pemasaran yang kondusif dan efisien akan memberikan kontribusi positif terhadap beberapa terhadap beberapa aspek, yaitu (a) mendorong adopsi teknologi, peningkatan produktivitas dan efisiensi, serta dayasaing komoditas pertanian. (b) meningkatnya kinerja dan efektivitas kebijakan yang terkait dengan program stabilisasi harga keluaran dan (c) perbaikan perumusan kebijakan perdagangan domestik dan internasional (ekspor dan impor) secara lebih efektif dan efisien.

Terdapat sejumlah faktor (intrinsik dan eksternal) yang berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produk pertanian. Secara intrinsik, faktor yang berpengaruh diantaranya adalah struktur pasar, tingkat intergritas pasar, dan margin pasar. Bentuk pasar yang mangarah kepadapasar monopoli akan berpengaruh terhadap tingkat kompetisi yang akan berdampak terhadap pembentukan harga. Faktor eksternal yang berpengaruh padda hakekatnya adalah terkait dengan kebijakan pemerintah, seperti perkembangan infrastruktur pemasaran, stabilisasi harga output, perpajakan dan redistribusi, kebijakan pengemabangan produk dan pengolahan hasil pertanian, dan lain-lain.

Berkaitan dengan pola pemasaran beras, hingga saat ini pola pemasaran beras di tingkat petani tidak mengalami perubahan yang berarti. Terlepas dari keunikan pola pemasaran beras di daerah di Indonesia, namun ada satu hal yang secara prinsip sama, yaitu rentannya posisi tawar petani dalam menjual beras. Dengan kondisi tersebut petani selama ini lebih berperan sebagai penerima harga, sementara pembuat harga dominan dilakukan oleh para pedagang beras.

3.6          Periode Harga Terkendali (Orde Baru)

Pada era orde baru, stabilitas harga beras merupakan salah satu kebijakan yang utama. Terjadinya ketidakstabilan harga gabah dan beras dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda yaitu ketidakstabilan antar musim, yaitu musim panen dan musim panceklik dan ketidakstabilan antar tahun, karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau kebanjiran dan fluktuasi harga beras sulit diramalkan. Dengan demikian dapat dikatakan baahwa stabilitas harga melewati batas musim dan tahun.

Ketidakstabilan harga antar musim terkait erat dengan pola panen, yaitu panen raya yang berlangsung pada bulan Februari – Mei (60-65% dari total produksi nasional), panen musim gadu pertama yang berlangsung antara Juni – September (25-30%) dan sisanya panen antara bulan Oktober – Januari (5-15%). Bila harga beras akan jatuh pada musim panen raya dan meningkat tajam pada musim panen panceklik (Oktober – Januari). Ketidakstabilan harga tersebut, dapat memukul produsen pada musim panen, dan sebaliknya memberatkan konsumen pada musim panceklik. Pada saat itu, berbagai instrumen kebijakan digunakan untuk mengamankan harga beras. Instrumen tersebut dapat digolongkan ke dalam dua tingkatan yaitu tingkatan usaha tani berupakebijakan subsidi harga input-output dan tingkat pasar berupa manajemen stok dan monopoli impor oleh Bulog.

Adanya kebijakan stabilisasi harga tersebut, tentu saja berpengaruh cukup besar terhadap pola tataniaga dari komoditas beras. Suatu kondisi yang unik pada saat itu adalah peranan KUD yang cukup besar dalam membantu petani untuk mendapatkan harga beras atau gabah sesuai dengan harga dasar, khususnya pada saat musim panen raya.

3.7          Pengaruh Globalisasi Agribisnis Beras

Globalisasi sangat berpengaruh kepada kestabilan ekonomi dan politik Indonesia. Internalisasi nilai keberlanjutan alam (lingkungan) dan sosial kedalam preferensi konsumen beras, liberalisasi perdagangan dan investasi, serta revolusi teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi. Globalisasi agribisnis erat kaitannya dengan revolusi pemasaran (market revolution), yaitu perubahan dan cepat pada sifat, struktur dan perilaku barang konsumen agribisnis.

Globalisasi agribisnis menyebabkan cakupan pemasaran semakin meningkat dari pemasaran lokal kemudian ke nasional hingga akhirnya sasaran perdagangan beras tersebut masuk ke dunia internasional (global). Hal ini didasarkan jika terdapat peningkatan informasi pasar atau meningkatnya cakupan pasar (geografis, time, volume dan lainnya). Selain itu revolusi pemasaran beras dalam globalisasi agribisnis juga lebih mengacu kepada keinginan dibandingkan dengan kebutuhan. Hal ini ditunjukan dengan lebih selektifnya konsumen dalam memilih beras, karena disebabkan oleh pendapatan yang meningkat atau lainnya. Selanjutnya adalah perubahan yang signifikan dari dalam hal persaingan. Seperti yang kita ketahui dulu sebelum terjadi revolusi pemasaran persaingan bisa dalam bentuk persaingan harga, tapi sejalan dengan perkembangan zaman persaingan lebih mengacukepada persaingan non harga. Hal ini dicirikan bahwa penjual meningatkan penggunaan merek (brand image) dengan melandaskan asas monopolistic competition.

Perlu kita ketahui bahwa karakteristik globalisasi agribisnis beras di Indonesia mengubahseller’s market menjadi consumer’s market dengan kekuasaan pasar ditentukan oleh konsumen akhir dan/ataumemiliki kemampuan untuk mengungkapkan dan memenuhi preferensi konsumen. Ciri lain adalah pergeseran preferensi konsumen dariatribut tampilan luar ke atribut kunci fisika kimia. Seperti hal nya sekarang, keinginan konsumen akan komoditi beras organik lebih meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, hal ini dikarenakan kebutuhan akan nutrisi-nutrisi yang terkandung dalam beras tersebut. Selanjutnya adalah kesadaran akan kebutuhan keamanan yang terus meningkat, adanya kampanyekonsumen yang peduli lingkungan, perhatin akan keaslian produk, kewaspadaan terhadap tindakan terorisme, tuntutan terhadap perdagangan yang adil dan liberalisasi investasi dan perdagangan, mendorong berkembangnya lembaga distribusi dan perdagangan eceran multi nasional secara global.

 PENUTUP

 

4.1          Kesimpulan

Rendahnya pendapatan petani disebabkan oleh beberapa kebiasaan yang tidak tepat, khususnya dalam penyimpangan padi. Sebagian petani ada yang langsung menjual seluruh hasil panennya dan membeli dalam bentuk beras atau menyimpan sebagian, sedangkan sebagian lain dijual atau dikonsumsi sendiri seluruhnya.

Faktor-faktor yang kemungkinan berpengaruh dalam perkembangan sistem pemasaran beras yang lebih kompleks meliputi meninkatnya komersialisasi produk, adopsi ilmu dan teknologi yang makin tinggi, meningkatnya spesialisasi perusahaan dan tenaga kerja, pemisahan secara geografis produksi dan konsumsi, meningktanya jumlah penduduk dan urbanisasi, perubahan kebiasaan makan dan daya beli, serta perubahan mobilitas konsumen, dan peran pemerintah.

Perbedaan yang mendasardalam sistem pemasarana antara negara maju danberkembang adalah dalam hal keberadaan sistem suplai dalam pertanian, upah tenaga kerja, tingkat pendapatan konsumen, tingkat urbanisasi, latar belakang budaya termsuk kebiasaan makan dan sebagainya.

4.2          Saran

Perilaku stok berhubungan dengan sistem tataniaga. Secara umum seharusnya pemasaran beras di Indonesia meliputi petani, komisioner (broker/calo), tengkulak, pengumpul, luar daerah, penggilingan, pedagang grosir luar daerah (pedagang antar pulau), pedagang grosir, pedagang ritel, subdrive Perum Bulog dan perusahaan benih hal ini dimaksudkan agar menimbulkan saluran tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar dan keragaan pasar yang berbeda-beda.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Agusman, 1991. Upaya Meningkatkan Pendapatan Petani Melalui Identifikasi saluran Pemasaran Gabah dan Beras. Majalah Pangan, No. 10 Vol III, Oktober Bulog. Jakarta.

Anjar K, 2009Mata Rantai Pemasaran Beras. Tabloid SINAR TANINo. 3430.

Sudi M, Yana S, Nur KA, 2005. Dinamika Pola Pemasaran Gabah dan Beras di Indonesia.Makalah pad Forum penelitian Agro Ekonomi di Bogor, 2 desember 2005. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada September 29, 2013 inci Analitical

 

Tag: , , ,